2 Become 1

Emaus – Marriage, Family & Parenting

Masih ingatkah kita tentang hari H “Pernikahan” itu?

Hmmm…, coba diingat kembali hari sebelum hari “H” itu, hari di mana sudah ditunggu-tunggu biasanya oleh kaum hawa untuk mendengar dari bibir pasangannya mengatakan, “Aku mau menikahimu.” – ada yang diutarakan dengan cara yang unik, suprise dan ada yang direncanakan begitu matang dari jauh-jauh hari. Ada yang mewah, ada yang sederhana tapi semuanya sangat berkesan.

Saya ingat, waktu itu kekasih saya, mengantar saya ke salon, setelah selesai kami makan di kedai, lalu dia mengeluarkan cincin dan berkata dia akan segera melamar saya membawa orang tuanya. Wah kaget, senang, tersipu malu, berjuta pertanyaan, mau lompat rasanya.

Mat 19: 6… Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.

Kenangan manis itu kemudian menjadi penuh dengan berbagai rencana, kadang ada perselisihan pendapat, banyak yang harus diurus, semua jadi begitu sibuk. Yang satu mau begini yang lain begitu, belum lagi adat timur yang semua hal mengenai pernikahan melibatkan kedua keluarga besar.

Tapi saat hari “H” itu tiba, dan acara persiapan kemudian masuk ke acara pemberkatan pernikahan di gereja. Rasanya semua beban terlepas dalam beberapa bulan yang penuh dengan rencana indah. Kini kita masuk ke tahap yang lebih penting dan serius. Saat lembaran hidup baru benar-benar dibuka.

Persoalannya kita mengucapkan janji pernikahan kita bukan hanya karena di hadapan para keluarga dan teman terdekat, bukan pula karena di hadapan Gembala kita yang terhormat, tapi ada pihak lain yang sangat istimewa di antara kedua pasangan. Tuhan sendiri hadir di tengah kita menjadi tali pengikat pihak ke 3 di antara kita dan pasangan kita. Artinya bersama dengan kita berdua, Tuhan sendiri mengikat janji-Nya kepada kita.

Saat kenangan itu semua berubah menjadi bentuk foto dan video, yang dapat dilihat bila diinginkan, kalau tidak saudara saudari dengan mudah dapat menyimpannya di lemari terkunci. Lalu hidup bergulir hari demi hari, semua aktifitas rutin kembali menjadi bagian hidup kita. Saat kita berdua perlu untuk meleburkan diri, dari 2 pribadi yang unik menjadi 1 pribadi yang terus belajar memahami di bawah kasih karunia dan kemurahan Tuhan.

Mengapa saya katakan di bawah kasih karunia dan kemurahan Tuhan? Karena kalau bukan karena kasih karunia, kita tidak akan dapat mengerti satu sama lain. Kita mempunyai impian dan harapan yang tidak selalu sama dengan pasangan kita. Bahkan sebuah kebiasaan kecil dapat sangat menganggu. Kemurahan Tuhan kita rasakan tiap hari, karena persoalan hidup datang setiap waktu, kita seringkali terlibat dalam kondisi di mana kita harus memilih apa yang harus kita kerjakan, di mana kita juga harus menyamakan persepsi kita dengan pasangan. Hal itu semua tidak mudah. Ada yang karena pasangannya sangat sabar, dia terus mengalah agar tidak terjadi percekcokan. Tapi akankah sebagai manusia kita akan terus dapat mengalah? Semua karena kemurahan Tuhan.

Kita harus menyadari adanya perbedaan antara sifat pria dan wanita juga berpengaruh besar. Seorang wanita umumnya banyak bicara sedangkan pria tidak. Hal ini juga disebabkan karena susunan anatomi yang berbeda. Bahkan di salah satu buku dikatakan bahwa bentuk dan isi dompet dari pria dan wanita sangat berbeda. Dari segi model dan isi yang ditaruh di dalamnya. D-katakan Pria adalah “Martian” dan wanita adalah “Venusian”.

Latar belakang kita dibesarkan juga mempengaruhi bagaimana terbentuknya karakter kita. Kita harus dapat saling memahami peran masing-masing. Peran suami sehari-hari sebagai pengambil/pembuat keputusan, pengarahan komunikasi yang jelas untuk keluarga. Tuhan menetapkan suami menjadi pemimpin otoritas serta bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Otoritas itu bukan untuk dilayani, tetapi untuk menyelamatkan seisi rumah tangganya.

Suami perlu sengaja mengatur waktu, tenaga dan pikirannya untuk mengelola semua berkat yang Tuhan percayakan dengan seimbang. Pekerjaan, istri, anak-anak, pelayanan dan hubungan sosial mendapat porsinya yang pantas.

Sedangkan peran seorang istri adalah bersedia melayani dengan sukacita untuk suami dan seisi rumahnya, bersikap yang anggun. Harus mampu mengendalikan diri/emosi dengan baik bagi perkembangan anak-anaknya. Seorang istri harus dapat menghargai dan tunduk pada otoritas suami, sesuai dalam Firman Tuhan.

Jadi masalah rumah tangga banyak kali timbul karena salah satu atau kedua-duanya tidak hidup dalam terang Allah, tidak membangun hubungan rohani yang baik dengan Tuhan. Terang dan gelap tidak bisa bersatu, tidak bisa menjalin hubungan yang baik.

Peristiwa hidup bersama akan terus bergulir. Dan rasanya indah untuk mengenang apa yang Tuhan sediakan bagi kita di hari pernikahan dulu. Kini tahun demi tahun Tuhan senantiasa mengendong kita. Percayalah saat keduanya melakukan peran masing-masing berdasarkan pada iman yang tumbuh dalam kebenaran Firman, maka segala berkat dan pertolongan Tuhan selalu tersedia.

Sebuah ilustrasi
Pada suatu hari seorang pria sambil menunggu temannya di bandara ia melihat seorang pria berjalan ke arahnya dan berhenti persis di sebelahnya untuk menyambut keluarganya. Pertama-tama ia menghampiri putranya yang kira-kira berumur sembilan tahun sambil meletakkan kopernya, mereka saling berpelukan dengan penuh kasih. Saat mereka saling berpelukan sang ayah berkata, “Nak, senang sekali melihatmu, ayah kangen sekali kepadamu.” Putranya tersenyum dan menjawab hal yang sama.

Kemudian pria itu berdiri dan menatap putranya yang paling besar berumur kira-kira duabelas tahun, sambil memegang muka putranya dengan kedua tangannya ia berkata, “Engkau sudah jadi pemuda. Ayah sangat mengasihimu.” Dan merekapun berpelukan.

Tak lama dia berkata, “Saya menyimpan yang terbaik untuk yang terakhir.” Lalu maju memberi istrinya ciuman hangat penuh cinta, kemudian mereka saling berpandangan sambil berpegangan tangan.

Orang yang sedang menanti dijemput temannya itu seolah-olah sedang melihat sepasang pengantin baru. Lalu ia bertanya pada pria itu, “Wow, sudah berapa lama Anda menikah?”

Pria itu menjawab, “Sudah hampir 20 tahun.” Tanpa mengalihkan perhatiannya dari wajah istrinya. “Lalu sudah berapa lama Anda pergi?” Tanya orang itu, pria itu menjawab, “Dua hari.” Orang itu kaget luar biasa, ia berpikir dengan sambutan yang seperti itu pasti pria itu sudah pergi paling sedikit beberapa minggu atau bulan.

Pengkhotbah 4 : 12 … dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.

Kita perlu mengambil keputusan, putuskan sekarang juga bukan berharap saja, bahwa kita menginginkan pernikahan yang penuh gairah dan cinta. Semua itu tidak hadir dengan sendirinya, semua itu harus kita yang dapat mengusahakannya. Seberat apapun persoalan yang mungkin sedang kita hadapi, dalam hidup berumah tangga Tuhan tidak akan pernah tinggalkan. Dia melekat pada kita, dan Dia selalu memiliki rancangan yang terbaik. Selama kita mau untuk terus berusaha memberikan yang terbaik kepada pasangan kita. Jadikanlah ikatan pernikahan kita kokoh agar kita dapat memberikan perkembangan kepribadian dan pertumbuhan rohani yang semakin matang dan berbuah bagi sesama. (Makalah Bapak Hizkia Purwoko dalam Bengkel Keluarga)

Must Read