Kendali


Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah. (Yakobus 3:9)

Usai pertikaian pilpres lalu, seseorang nge-tweet seperti ini, “Lidah tidak bertulang. Belum kering liur di bibir. Masih tergores nyata di dalam ingatan. Tersusun rapi dalam jejak digital. Kini mereka berlomba. Saling sikut. Berkejaran agar dirangkul kekuasaan … “Politik hanya permainan. Senda gurau belaka,” kata mereka meyakinkan. Sementara rakyat masih terbelah karena semburan kebohongan lidah digital, mereka manipulasi makna ‘rekonsiliasi’ dengan ‘jadi menteri’. Politik pengap. Berdebu. Beracun.” Bukankah kekesalan yang menyembur lewat kata-kata komentator di atas juga sering menjadi jeritan batin kita?

Yakobus menganalogikan lidah dengan kemudi pada kapal-kapal dan kekang pada mulut kuda. Ketiganya tampil dalam wujud yang kecil saja, namun bisa mengendalikan dan memegahkan perkara-perkara yang besar. Lebih jauh lagi Yakobus berkata bahwa lidah dapat menjadi sesuatu yang buas, yang tidak terkuasai, dan yang penuh racun yang mematikan. Meskipun manusia dapat menjinakkan segala jenis binatang liar yang buas, namun tak seorang pun yang dapat menjinakkan lidah (Yakobus 3:1-12).

Namun begitu kitab Amsal berkata, “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.” (Amsal 4:23). Ketika kita merasa marah, meskipun nalar kita berpikir bahwa lebih baik jika kita bersabar, namun kata-kata yang keluar dari mulut kita sering sekali menyakitkan dan akhirnya membuat kita sendiri menyesalinya. “Aduh…, kenapa sih aku jadi ngomong gitu?” Begitulah kira-kira nada sesal kita. Karenanya, beberapa pakar psikologi menyarankan agar saat menjadi marah, kita berhitung mundur, seperti: 20, 19, 18, 17, dst. Menurut saya, hal ini menjadi kesempatan bagi jiwa kita untuk mengelola hati dan perasaan kita agar menjadi lebih tenang. Ketenangan juga bisa didapat dengan menarik napas dalam-dalam untuk beberapa kali hitungan. Ketenangan dalam hati membuat lidah kita urung untuk berkata buruk, yang nantinya mungkin kita sesali. Saat ini lidah kita bisa digantikan dengan jari. Dunia digital memaksa jari-jari kita menyampaikan pikiran hingga emosi kita. Jadi benarlah bahwa kendali utama ada pada “hati”. Mari menjaga hati agar bibir dan jari terkendali. (em)

DOA : “Tuhan, isilah rohku ini dengan citra salib-Mu, dengan kasih-Mu memenuhi hatiku. Isilah mulutku dengan syukur pada-Mu, sehingga hidupku ini sepenuhnya hanya milik-Mu. Amin.”

Must Read